Assalammu’alaikum wr.wb..
Semoga teman-teman sekalian sehat wal afiat ya.. aamiin 😀
Kali ini saya ingin membahas tentang pertemanan. Betapa uniknya ia. Siapa didunia ini yang tidak membutuhkan teman ataupun tidak suka berteman?. Kalau ada orang seperti itu, rasanya menyedihkan sekali. Sebab sejatinya, kita ini mahluk sosial. ^ ^
Kita tidak akan pernah bisa berdiri sendiri. Kita pasti membutuhkan orang lain. Dan kita pasti butuh berteman.
Menurut saya berteman ini pun ada tingkatannya. Ada yang berteman biasa, berteman dekat/bersahabat, atau berteman tapi sudah dianggap seperti saudara.
Dulu sekali saya sering mengkategorikan teman-teman saya pada 1 dan 2. Kalau tidak sahabatan ya berarti teman biasa.
Kami bersahabat kental sekali. Sampai-sampai ketika kami tidak bersama sehari saja teman-teman akan langsung tahu dan akan menebak-nebak, ‘apakah mereka marahan?’.
Yah begitulah. Suatu ketika terjadi masalah. Yang rupa-rupanya tertahan sejak lama. Sifat cuek saya membuatnya sedih dan tidak nyaman. Ampun. Saya benar-benar tidak merasa saya cuek. Dan saya merasa ia seorang yang egois. Impas sudah.
Berjauhan dengannya terasa neraka bagi kehidupan akhir masa SMP saya. Sedih ga karu-karuan. Bahkan bisa dibilang rasa sedihnya melebihi rasa putus cinta saya dulu. haha
Bila buku catatan masa SMP saya dibuka kembali, terlihatlah sudah semua kesedihan itu. Semua saya curahkan padanya. Saya yang merasa dilupakan, dikecewakan, takut kehilangan dan sebagainya.
11 Maret 2006 kami berbaikkan. Ingat betul saya, karena tanggal itu saya abadikan pada buku catatan kerokeropi. hehehe. Lega bukan kepalang, bahagia.
“Ah.. Untunglah semua sudah berakhir.. dan aku pun lega, ternyata dia menangisiku. Ternyata dia tak se-egois yang ku pikirkan. Dia tidak membiarkanku menangis sendirian. Huehehe. Ternyata tetap sehati”.
Begitulah bunyi catatan tersebut. :’)
Kami berbaikkan. Namun karena sekolah kami terpisah, akhirnya kami tak sedekat dulu lagi.
Memasuki masa SMA, saya tidak ingin memiliki sahabat. Semua teman saya masukkan pada kategori satu. Teman biasa. Tidak lebih.
Apakah itu membuat saya bahagia?. Ah teman. Ternyata juga tidak. Sering kali dulu saya mendapati diri saya termenung dijendela sambil berfikir, “ah, ga ada sahabat”. Lalu diam-diam ada yang menetes.
Maksut hati ingin menjaga perasaan hati agar kejadian seperti dulu tidak terulang kembali. Betapa tidak nyamannya bermusuhan dengan orang yang kita sayang dan sudah hampir 2 tahun lebih selalu bersama.
Dan begitulah kehidupan SMA saya. Berteman random. Tidak terlalu dekat, tidak pula terlalu jauh. Biasa-biasa saja.
Sampai suatu kali, dipenghujung masa SMA, saya memasuki IPA 3. Kekeluargaan dikelas ini terasa sekali. Kompak. Buat saya nyaman dan bahagia.
Disana saya mulai berfikir, kenapa pertemanan ini tidak kita anggap sebagai hubungan kekeluargaan saja?. Akan bertahan lebih lama dan lebih membahagiakan menurut saya.
Teman, cobalah lihat sebuah keluarga. Pasti seringkali berpencar. Begitupun dengan keluarga saya. Ketika kami kecil saja keluarga kami sudah berpencar. Ada yang di jambi, di padang, di jakarta dan ada pula yang di bandung. Berkumpul paling komplit hanya pada saat lebaran.
Dan apakah hubungan kami terputus?. Tentu saja tidak teman. Minimal masih saling kontak, walau hanya 6 bulan sekali. Minimal masih tahu kabar berita. Dan seminimal-minimalnya masih saling mengingat. Karena kami kan keluarga. hehe
Itulah yang saya tanamkan dalam diri saya kini. Bila sudah dekat dan sayang, saya lebih senang menganggapnya sebagai keluarga saya. Saudara saya. Sehingga ketika terjadi masalah atau sama-sama sibuk, silaturahmi kami tetap terjaga. Minimal dihati masing-masing.
Sekarang tidak ada lagi rasa sedih karena pertemanan itu. Ah, begitulah perteman ya teman. Sangat unik sekali. Banyak rasa yang ditimbulkan olehnya. ^ ^ Alhamdulillah.
Hanya saja ingatlah selalu pesan baginda Rasulullah yang indah dan mulia ini,
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)