Makna Sekolah dan Ibu Sebagai Pendidik

Sekolah.

Sekolah itu kalau menurut saya luas sekali maknanya. Ketika lingkungan hidup kita memberikan pelajaran berharga, misalnya “ketika kamu bertindak menyebalkan, orang-orang akan menjauhimu”, atau “kalo kamu suka bohong, nanti teman-teman mu ga percaya kamu lagi”, nah, itu menurut saya juga sekolah. Sekolah moral. hehe

Tapi terkadang kita sering menyempit-nyempitkan makna tersebut.

Sekolah itu sendiri identik dengan seragam, topi, dasi, dan tidak lupa seterfikat kelulusan. Dimana proses sekolah selama 6 tahun di SD hanya dinilai 3-5 hari ujian. Yang setiap kali ujiannya hanya menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam. Miris.

Pemerintah Indonesia sendiri baru-baru ini sedang melirik-lirik UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional wajib belajar 9 tahun yang rencananya akan diubah menjadi wajib belajar 12 tahun. Artinya, nantinya, berdasarkan UU ini, semua anak di Indonesia wajib mengenyam pendidikan minimal sampai tingkat SMA.

Hal ini dipandang perlu oleh pemerintah untuk menaikkan mutu/SDM Indonesia agar sesuai dengan kebutuhan zamanyang semakin modern ini.

Saya rasa itu benar dan penting untuk dilakukan. :’)

Hanya saja, saya merasa agak sedikit kurang sreg dengan pendidikan yang selama ini diajarkan oleh sekolah/kampus saya.

Beberapa guru/dosen saya biasanya mengajarkan saya bagaimana caranya menjadi pesuruh dan pekerja yang baik diperusahaan atau instansi pemerintahan. Terkadang setiap kali sedang belajar dikelas, ada beberapa kalimat sisipan seperti, “Nanti, di dunia kerja kalian akan butuh ini”, atau “Biasanya perusahaan-perusahaan akan mencari pegawai yang seperti ini”, dan blaa.. blaa.. blaa..

Jarang sekali kami mendapatkan motivasi untuk berdiri dikaki sendiri. Atau sekedar kata penyemangat seperti, “Nanti kalian boleh bekerja jadi orang kantoran, kerja diperusahaan gede. Tapi jangan lama-lama ya.. Maksimal 3 tahun aja. Habis itu, cobalah untuk berdiri dikaki sendiri. Ikutilah caranya baginda Rasulullah dalam bekerja..“.

Ternyata, awalnya orang yang amat dimuliakan oleh Allah SWT pun pernah menjadi pekerja. Beliau bekerja untuk Ibundha Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Teman-teman juga pasti udah taukan kalo Siti khadijah melirik Rasulullah awalnya karena kejujuran dan keuletanya dalam bekerja. Nah, kita wajib contoh yang itu tu ketika bekerja. ^ ^. (Bukan karena saking mau kayak nabinya itu jadi malah ngegaet istri si bigbos ya. hhe)

Contoh lainnya, saya juga belum diajarkan bagaimana caranya menjadi perempuan yang baik untuk suami nantinya. Atau menjadi ibu yang baik untuk anak-anak. Yang dapat merawat dan mendidik anak dengan baik (menurut skala islam). dll.

Ternyata masih banyak sekali yang belum saya dapatkan dari pendidikan sekolah formal. Sangat banyak.

Barangkali itulah sebab mengapa islam sangat memuliakan pekerjaan sebagai seorang ibu. Ibu adalah guru pertama untuk anak-anaknya. Ibu seharunya menjadi madrasah sekaligus pendakwah bagi anak-anaknya.

Cobalah tengok negara modern nan pesat dalam perkembangan teknologinya. Jepang. Ternyata, negara tersebut mewajibkan wanita yang mempunyai anak untuk berhenti bekerja. Ia baru boleh bekerja kembali ketika si anak sudah dewasa. Jadi, perempuan jepang sekolah tinggi-tinggi sampai S2 pun sebagai bekal mendidik anak-anaknya kelak. SubhanaAllah. Bagaimana mungkin negara yang minoritas islam tersebut malah mengamalkan ajaran islam?. Dan lihatlah hasilnya sekarang. Orang-orang jepang terkenal akan kejujuran dan keuletannya dalam bekerja. :’)

Teman kita bandel? Tahan sejenak. Cobalah tengok bagaimana didikan orang tuanya, terutama si ibu.

Sebagai contoh. Di lingkungan saya ada yang suka pake rok mini dan baju you can see, setelah saya amat-amati, ternyata sewaktu ia kecil ibunya suka memakaikanya baju yang seperti itu. Ya wajar kalo kemudian ketika dewasa ia demen pake baju begituan. Memang sih ketika kecil perempuan belum memiliki aurat dan anak kecil yang pake baju mini-mini terkesan imut dan menggemaskan. Lah kalo sudah dewasa??.

Di lingkungan saya juga ada yang suka pake baju serba mini-mini dan kencan dengan banyak lelaki. Dan setelah mengamati cerita-ceritanya, ternyata si ibunya dulu juga seperti itu. Teman-teman pasti pernah dengar kalo anak-anak itu seorang peniru yang baik kan? :D. Nah, terjawablah sudah mengapa ia kemudian seperti itu. hehe

Kalo menurut saya pribadi, tanggung jawab seorang wanita untuk pertama kalinya adalah ketika ia menjadi seorang ibu. Sebab, dari kita (baca : perempuan) lahir sampai kemudian menikah, kita tidak bertanggungjawab untuk hidup siapapun. Beda dengan laki-laki. Ketika laki-laki telah menjadi suami, maka ia bertanggungjawab pada istri. Ketika menjadi ayah, maka bertanggungjawab pada istri dan anak. Ketika masih muda pun biasanya laki-laki sudah diajarkan untuk bertanggungjawab pada keluarga, minimal menjaga ibu dan adik/saudaranya. 😀

Tapi, sayangnya lagi ni ya. Perempuan zaman sekarang (termasuk saya), demen nya lomba-lombaan sama lelaki. Alasannya sih, “Masak cowo aja yang boleh kerja dan berkarier. Kita juga mau jadi wanita karier. Biar ga disemena-menain cowo“. Lalu timbullah kata emansipasi wanita. hehe

Akhirnya, dengan alasan emansipasi wanita itulah kita bisa bekerja dengan bebas. Nanti sedikit-sedikit emansipasi, sedikit-sedikit ngomongnya diskriminasi. Diskriminasi kok sedikit-sedikit.

Misalnya ada seorang wanita yang bisa nyetir mobil truck, tapi ga dibolehin jadi sopir truck, nah nanti para aktivis emansipasi wanita pada demo deh tuh… Bilang kalo wanita juga bisa kerja jadi sopir. Jujur aja, miris betul kalo ini sampai terjadi.

Memang sih, barangkali itu karena kebutuhan keluarga. Karena gaji suami ga mencukupi.

Tapi, menurut saya lagi ni ya, seandainya dulu si ibu lelaki sudah menerapkan pendidikan dini tentang hakikat seorang wanita dan pekerjaannya ke anak laki-lakinya. Maka ga akan deh ada kejadian begini. Suaminya seharunya ga mengizinkan istrinya bekerja sekasar itu. Misalnya dengan ngasih pengertian ke istrinya,

“Dek, kita syukuri aja dulu apa yang udah Allah kasih ke kita ya. Adek didik aja anak-anak kita dirumah. Ajarin ngaji, menghafal dan memahami Al-Qur’an, tentang makna hidup, tentang kebersyukuran, kejujuran, keuletan. Masalah ekonomi keluarga, biar mas yang urus”.

*Uhuk*. Kalo dibicarain dengan lemah lembut plus senyuman yang manis lagi meneduhkan, istrinya juga “klepek-klepek” deh jadinya. hehe

Istrinya juga kalo sedari kecil sudah dikasih contoh yang baik dari ibunya (misal cara ibu merawat/mendidiknya, tentang bagaimana sebaiknya istri mengikuti kata suami selama itu baik, tentang bagaimana kemudian seorang istri sebaiknya menjaga harta dan rumah serta martabat suami) juga dengan sendirinya akan mudah memahami maksud perkataan suaminya tersebut.

Semua yang saya jelaskan diatas seperti lingkaran. Kita hanya berputar-putar disana. Pada pendidikan seorang ibu. Bukan pendidikan sekolah. :’). Pendidikan sekolah barangkali hanya berguna untuk dunia kerja. Tapi pendidikan yang diberikan oleh seorang ibu tidak hanya berguna untuk dunia kerja melainkan juga untuk kehidupan yang lebih luas seperti kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. ^ ^

Jadi, alangkah baiknya, kita -si perempuan-perempuan- ini, berlomba-lomba menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kelak, bukan berlomba-lomba menjadi wanita karier yang pergi pagi pulang malam. 😀

Yuk deh, kita sama-sama memperbaiki mindset kita. :’). Sadari siapa kita, lalu temukan jalan menuju keridhoan-Nya. ^ ^

Leave a comment